1. ABSTRAK
Pendidikan
adalah proses memanusiakan manusia. Untuk meraih derajat manusia seutuhnya
sangatlah tidak mungkin tanpa melalui proses pendidikan. Pendidikan harus dapat
menghasilkan insan-insan yang memiliki karakter mulia, di samping memiliki
kemampuan akademik dan keterampilan yang memadai. Salah satu cara untuk
mewujudkan manusia yang berkarakter adalah dengan mengintegrasikan pendidikan
karakter dalam setiap pembelajaran. Nilai-nilai karakter utama yang harus
terwujud dalam sikap dan perilaku peserta didik sebagai hasil dari proses
pendidikan karakter adalah jujur (olah hati), cerdas (olah pikir), tangguh
(olah raga), dan peduli (olah rasa dan karsa). Pengintegrasian pendidikan
karakter dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan pemuatan nilai-nilai
karakter dalam semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan dalam
pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Untuk itu guru harus mempersiapkan pendidikan
karakter mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasinya. Pelaksanaan pendidikan
karakter di sekolah perlu didukung oleh keteladanan guru dan orang tua murid
serta budaya yang berkarakter.
2. PENDAHULUAN
Pendidikan
adalah sebuah usaha yang ditempuh oleh manusia dalam rangka memperoleh ilmu yang
kemudian dijadikan sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku. Karena itu,
pendidikan merupakan salahsatu proses pembentukan karakter manusia. Pendidikan
bisa juga dikatakan sebagai proses pemanusiaan manusia. Dalam keseluruhan
proses yang dilakukan manusia terjadi proses pendidikan yang akan menghasilkan
sikap dan perilaku yang akhirnya menjadi watak, kepribadian, atau karakternya.
Untuk meraih derajat manusia seutuhnyasangatlah tidak mungkin tanpa melalui
proses pendidikan. Pendidikan juga merupakan usaha masyarakat dan bangsa dalam
mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan
bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh
pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Dalam
proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik
mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan
nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul dimasyarakat,
mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan
kehidupan bangsa yang bermartabat.
Sejalan
dengan laju perkembangan masyarakat, pendidikan menjadi sangat dinamis dan
disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Kurikulum pendidikan bukan menjadi
patokan yang baku dan statis, tetapi sangat dinamis dan harus menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi yang ada. Dalam rangka ini reformasi pendidikan
menjadi urgen agar pendidikan tetap kondusif. Reformasi pendidikan harus
terprogram dan sistemik. Reformasi terprogram menunjuk pada kurikulum atau
program suatu institusi pendidikan, misalnya dengan melakukan inovasi
pendidikan. Inovasi dilakukan dengan memperkenalkan ide baru, metode baru, dan
sarana prasarana baru agar terjadi perubahan yang mencolok dengan tujuan dan
maksud tertentu. Adapun reformasi sistemik terkait dengan hubungan kewenangan
dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol system pendidikan
secara keseluruhan. Hal ini sering terjadi di luar sekolah dan berada pada
kekuatan sosial dan politik. Reformasi sistemik menyatukan inovasi-inovasi yang
dilakukan di dalam sekolah dandi luar sekolah secara luas (Zainuddin, 2008:
33-34).
Beberapa
tahun terakhir pendidikan kita telah mengalami perubahan kurikulum seperti diberlakukannya
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 yang disusul dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Di samping itu, juga telah
dilakukan berbagai inovasi dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional
seperti tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (lihat bab 2 pasal 3). Salah satu bentuk inovasi ini adalah
dicanangkannya pendidikan karakter bangsa melalui berbagai proses pendidikan.
Dari fungsi dan tujuan yang ingin dicapai, pendidikan karakter tidak hanya
merupakan inovasi pendidikan, tetapi juga merupakan reformasipendidikan yang
harus dipersiapkan dan dilaksanakan dengan benar serta melibatkan setiap pihak
yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, mulai pendidikan
dasar hingga pendidikan tinggi, harus dirancang dan diselenggarakan secara
sistematis guna mencapai tujuan tersebut.
Dalam
rangka pembentukan karakter peserta didik sehingga beragama, beretika,
bermoral, dan sopan santun dalam berinteraksi dengan masyarakat, maka
pendidikan harus dipersiapkan, dilaksanakan, dan dievaluasi dengan baik dan
harus mengintegrasikan pendidikan karakter di dalamnya guna mewujudkan insan-insan
Indonesia yang berkarakter mulia. Pendidikan karakter seharusnya membawa
peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara
afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata.
Inilah rancangan pendidikan karakter (moral) yang oleh
Thomas Lickona disebut moral knowing, moral feeling, dan moral action (Lickona,
1991: 51). Karena itulah, semua mapel yang dipelajari oleh peserta didik di
sekolah harus bermuatan pendidikan karakter yang bisa membawanya menjadi
manusia yang berkarakter seperti yang ditegaskan oleh Lickona tersebut.
KAJIAN TEORI
Pengertian
Karakter dan Pendidikan Karakter Istilah karakter adalah istilah yang baru
digunakan dalam wacana Indonesia dalam lima tahun terakhir ini. Istilah ini
sering dihubungkan dengan istilah akhlak, etika, moral, atau nilai. Karakter
juga sering dikaitkan dengan masalah kepribadian, atau paling
tidak ada hubungan yang cukup erat antara karakter dengan kepribadian
seseorang. Secara etimologis, kata karakter (Inggris:
character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti
“to engrave” (Ryan & Bohlin, 1999: 5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan
mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols & Shadily, 1995:
214). Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul
khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa
Depdiknas, 2008: 682). Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan demikian, karakter
merupakan watak dan sifat-sifat seseorang yang menjadi dasar untuk membedakan
seseorang dari yang lainnya. Dengan makna seperti itu karakter identik dengan
kepribadian atau akhlak.
Kepribadian merupakan ciri, karakteristik, atau sifat khas
diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima
darilingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan bawaan sejak lahir (Doni
Koesoema, 2007: 80). Seiring dengan pengertian ini, ada sekelompok orang yang
berpendapat bahwa baik buruknya karakter manusia sudah menjadi bawaan dari
lahir. Jika bawaannya baik, manusia itu akan berkarakter baik, dan sebaliknya
jika bawaannya jelek, manusia itu akan berkarakter jelek. Jika pendapat ini
benar, pendidikan karaktertidak ada gunanya, karena tidak akan mungkin merubah
karakter orang yang sudah taken for granted.
Sementara
itu, sekelompok orang yang lain berpendapat berbeda, yakni bahwa karakter bisa
dibentuk dan diupayakan sehingga pendidikan karakter menjadi bermakna untuk
membawa manusia dapat berkarakter yang baik. Secara terminologis, makna
karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona yang mendefinisikan karakter sebagai
“A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.”
Selanjutnya, Lickona menambahkan, “Character so conceived has three
interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona,
1991: 51).
Karakter
mulia (good character), dalam pandangan Lickona, meliputi pengetahuan tentang
kebaikan (moral khowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan
(moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral
behavior). Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan
(cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta perilaku
(behaviors) dan keterampilan (skills). Dalam proses perkembangan dan
pembentukannya, karakter seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature). Secara psikologis perilaku berkarakter
merupakan perwujudan dari potensi Intelligence Quotient (IQ), Emotional
Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki
oleh seseorang. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis
dan sosio-kultural pada akhirnya dapat dikelompokkan dalam empat kategori,
yakni 1) olah hati (spiritual and emotional development), 2) olah pikir
(intellectual development), 3) olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic
development), dan 4) olah rasa dan karsa (affective and creativity
development). Keempat proses psiko-sosial ini secara holistik dan koheren saling
terkait dan saling melengkapi dalam rangka pembentukan karakter dan perwujudan
nilai-nilai luhur dalam diri seseorang (Kemdiknas, 2010: 9-10). Secara mudah
karakter dipahami sebagai nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau
berbuat baik nyata berkehidupan baik,dan berdampak baik terhadap lingkungan)
yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Secara koheren, karakter
memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa
seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau
sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan
ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan (Pemerintah RI, 2010: 7).
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak,
sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang
meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhan,
dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan, yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Menurut Ahmad
Amin (1995: 62) bahwa kehendak (niat) merupakan awal terjadinya akhlak
(karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk
pembiasaan sikap dan perilaku. Dari konsep karakter ini muncul konsep
pendidikan karakter (character education).
Terminologi
pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap
sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul Educating
for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (1991) yang
kemudian disusul oleh tulisan-tulisannya seperti The Return of Character
Educationyang dimuat dalam jurnal Educational Leadership (November 1993) dan
juga artikel yang berjudul Eleven Principles of Effective Character Education,
yang dimuat dalam Journal of Moral Volume 25 (1996).
Melalui
buku dan tulisan-tulisannya itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya
pendidikan karakter. Pendidikan karakter, menurutnya, mengandung tiga unsur
pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan
(desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991:
51). Di pihak lain, Frye (2002: 2) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai,
“A national movement creating schools that foster ethical, responsible, and
caring young people by modeling and teaching good character through an emphasis
on universal values that we all share”. Jadi, pendidikan karakter harus menjadi
gerakan nasional yang menjadikan sekolah (institusi pendidikan) sebagai agen
untuk membangun karakter peserta didik melalui pembelajaran dan pemodelan.
Melalui
pendidikan karakter sekolah harus berpretensi untuk membawa peserta didik
memiliki nilai-nilai karakter mulia seperti hormat dan peduli pada orang lain,
tanggung jawab, jujur, memiliki integritas, dan disiplin. Di sisi lain
pendidikan karakter juga harus mampu menjauhkan peserta didik dari sikap dan
perilaku yang tercela dan dilarang. Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan
mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu
pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik
sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik.
Dengan demikian, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan
akhlak atau pendidikan moral.
Nilai-Nilai
Dasar dalam Pendidikan Karakter Pemerintah Indonesia telah merumusan kebijakan
dalam rangka pembangunan karakter bangsa. Dalam Kebijakan Nasional Pembangunan
Karakter Bangsa Tahun 2010-2025 ditegaskan bahwa karakter merupakan
hasilketerpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah
rasa dan karsa. Olah hati terkait dengan perasaan sikap dan
keyakinan/keimanan, olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan
menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif, olah raga terkait
dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan
aktivitas baru disertai sportivitas, serta olah rasa dan karsaberhubungan dengan
kemauan dan kreativitas yang tecermin dalam kepedulian, pencitraan, dan
penciptaan kebaruan (Pemerintah RI, 2010: 21). Nilai-nilai karakter yang
dijiwai oleh sila-sila Pancasila pada masing-masing bagian tersebut, dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1.Karakter yang bersumber dariolah hati antara lain beriman
dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab,
berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan
berjiwa patriotik;
2.Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain
cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks,
dan reflektif;
3.Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika antara
lain bersih, dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan,
bersahabat,kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih; dan
4.Karakter yang bersumber dariolah rasa dan karsa antara
lain kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat,
toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan
umum, cinta tanah air (patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk
Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. Dari nilai-nilai karakter
di atas, Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan) mencanangkanempat nilai karakter utama yang menjadi ujung tombak
penerapan karakter di kalangan peserta didik di sekolah, yakni jujur (dari olah
hati), cerdas (dari olah pikir), tangguh (dari olah raga), dan peduli (dari
olah rasa dan karsa). Dengan demikian, ada banyak nilai karakter yang dapat
dikembangkan dan diintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah. Menanamkan semua
butir nilai tersebut merupakan tugas yang sangat berat. Oleh karena itu, perlu
dipilih nilai-nilai tertentu yang diprioritaskan penanamannya pada peserta
didik.
Direktorat
Pembinaan SMP Kemdiknas RI mengembangkan nilai-nilai utama yang disarikan dari
butir-butir standar kompetensi lulusan (Permendiknas No. 23 tahun 2006)
dan dari nilai-nilai utama yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Depdiknas RI
(Pusat Kurikulum Kemdiknas, 2009). Dari kedua sumber tersebut nilai-nilai utama
yang harus dicapai dalam pembelajaran di sekolah (institusi pendidikan) di
antaranya adalah:
1.Kereligiusan, yakni pikiran, perkataan, dan tindakan
seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan
dan/atau ajaran agamanya.
2.Kejujuran, yakni perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain.
3.Kecerdasan, yakni kemampuan seseorang dalam melakukan
suatu tugas secara cermat, tepat, dan cepat.
4.Ketangguhan, yakni sikap dan perilaku pantang menyerah
atau tidak pernah putus asa ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam
melaksanakan kegiatan atau tugas sehingga mampu mengatasi kesulitan tersebut
dalam mencapai tujuan.
5.Kedemokratisan, yakni cara berfikir, bersikap, dan
bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
6.Kepedulian, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah dan memperbaiki penyimpangan dan kerusakan (manusia, alam, dan
tatanan) di sekitar dirinya.
7.Kemandirian, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8.Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, yakni
berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk menghasilkan
cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.
9.Keberanian mengambil risiko, yakni kesiapan menerima
risiko/akibat yang mungkin timbul dari tindakan nyata.
10.Berorientasi pada tindakan, yakni kemampuan untuk
mewujudkan gagasan menjadi tindakan nyata.
11.Berjiwa kepemimpinan, yakni kemampuan mengarahkan dan
mengajak individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dengan berpegang pada
asas-asas kepemimpinan berbasis budaya bangsa.
12.Kerja keras, yakni perilaku yang
menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna
menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.
13.Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas
dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan,
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya),
negara dan Tuhan YME.
14.Gaya hidup sehat, yakni segala upaya untuk menerapkan
kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan
kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
15.Kedisiplinan, yakni tindakan yang menunjukkan perilaku
tertib danpatuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
16.Percaya diri, yakni sikap yakin akan kemampuan diri
sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.
17.Keingintahuan, yakni sikap dan tindakan yang selalu
berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
18.Cinta ilmu, yakni cara berpikir, bersikap dan berbuat
yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
pengetahuan.
19.Kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain,
yakni sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak
diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang
lain.
20.Kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial, yakni sikap
menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan
kepentingan umum.
21.Menghargai karya dan prestasi orang lain, yakni sikap dan
tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
22.Kesantunan, yakni sifat yang halus dan baik dari sudut
pandangtata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.
23.Nasionalisme, yakni cara berfikir, bersikap, dan berbuat
yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
24.Menghargai keberagaman, yakni sikap memberikan
respek/hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat,
adat, budaya, suku, dan agama (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010). Dari 24 nilai dasar
karakter di atas, guru (pendidik) dapat memilih nilai-nilai karakter tertentu
untuk diterapkan pada peserta didik disesuaikan dengan muatan materi dari
setiap mata pelajaran (mapel) yang ada. Guru juga dapat mengintegrasikan
karakter dalam setiap proses pembelajaran yang dirancang (skenario
pembelajaran) dengan memilih metode yang cocok untuk dikembangkannya karakter
peserta didik.
PEMBAHASAN
Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran
Merespons sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan
akhlak dan budi pekerti (pendidikan karakter), terutama melalui duamata
pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, telah diupayakan
inovasi pendidikan karakter. Inovasi tersebut adalah:
1.Pendidikan karakter dilakukan secara terintegrasi ke dalam
semua mata pelajaran. Integrasi yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke
dalam substansi pada semua mata pelajaran dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran
yang memfasilitasi dipraktikkannya nilai-nilai dalam setiap aktivitas di dalam
dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran.
2. Pendidikan karakter juga diintegrasikan ke dalam
pelaksanaan kegiatan pembinaan peserta didik.
3.Selain itu, pendidikan karakter dilaksanakan melalui
kegiatan pengelolaan semua urusan di sekolah yang melibatkan semua warga
sekolah (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010). Dari ketiga bentuk inovasi di atas yang
paling penting dan langsung bersentuhan dengan aktivitas pembelajaran
sehari-hari adalah pengintegrasian pendidikan karakter dalam proses
pembelajaran. Pengintegrasian pendidikan karakter melalui proses pembelajaran
semua mata pelajaran di sekolah sekarang menjadi salah satu model yang banyak
diterapkan. Model ini ditempuh dengan paradigma bahwa semua guru adalah
pendidik karakter (character educator).
Semua mata
pelajaran juga disasumsikan memiliki misi dalam membentuk
karakter mulia para peserta didik (Mulyasa, 2011: 59). Di samping model ini,
ada juga model lain dalam pendidikan karakter di sekolah, seperti model
subjectmatter dalam bentuk mata pelajaran sendiri, yakni menjadikan pendidikan
karakter sebagai mata pelajatan tersendiri sehingga memerlukan adanya rumusan
tersendiri mengenai standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar,
silabus, RPP, bahan ajar, strategi pembelajaran, dan penilaiannya di sekolah.
Model ini tidaklah gampang dan akan menambah beban peserta didik yang sudah
diberi sekian banyak mata pelajaran. Karena itulah, model integrasi pendidikan
karakter dalam mata pelajaran dinilai lebih efektif dan efisien dibanding
dengan model subject matter.Integrasi pendidikan karakter di dalam proses
pembelajaran di sekolah dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Tahap-tahap ini akan
diuraikan lebih detail berikut ini.
1.Tahap Perencanaan
Pada tahap perencanaan yang mula-mula dilakukan adalah
analisis SK/KD, pengembangan silabus berkarakter, penyusunan RPP berkarakter,
dan penyiapan bahan ajar berkarakter. Analisis SK/KD dilakukan untuk
mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang secara substansi dapat diintegrasikan
pada SK/KD yang bersangkutan. Perlu dicatat bahwa identifikasi nilai-nilai
karakter ini tidak dimaksudkan untuk membatasi nilai-nilai yang dapat
dikembangkan pada pembelajaran SK/KD yang bersangkutan. Guru dituntut lebih
cermat dalam memunculkan nilai-
nilai yang ditargetkan dalam proses pembelajaran.
Secara
praktis pengembangan silabus dapat dilakukan dengan merevisi silabus yang telah
dikembangkan sebelumnya dengan menambah komponen (kolom) karakter tepat di
sebelah kanan komponen (kolom) Kompetensi Dasar atau di kolom silabus yang
paling kanan. Pada kolom tersebut diisi nilai(-nilai) karakter yang hendak
diintegrasikan dalam pembelajaran. Nilai-nilai yangdiisikan tidak hanya
terbatas pada nilai-nilai yang telah ditentukan melalui analisis SK/KD, tetapi
dapat ditambah dengan nilai-nilai lainnya yang dapat dikembangkan melalui kegiatan
pembelajaran (bukan lewat substansi pembelajaran). Setelah itu, kegiatan
pembelajaran, indikator pencapaian, dan/atau teknik penilaian, diadaptasi atau
dirumuskan ulang dengan penyesuaian terhadap karakter yang hendak dikembangkan.
Metode menjadi sangat urgen di sini, karena akan menentukan
nilai-nilai karakter apa yang akan ditargetkan dalam proses pembelajaran.
Sebagaimana
langkah-langkah pengembangan silabus, penyusunan RPP dalam rangka pendidikan
karakter yang terintegrasi dalam pembelajaran juga dilakukan dengan cara
merevisi RPP yang telah ada. Revisi RPP dilakukan dengan langkah-langkah:
a. Rumusan tujuan pembelajaran direvisi/diadaptasi.
Revisi/adaptasi tujuan pembelajaran dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
(1) rumusan tujuan pembelajaran yang telah ada direvisi
hingga satu atau lebih tujuan pembelajaran tidak hanya mengembangkan kemampuan
kognitif dan psikomotorik, tetapi juga afektif (karakter), dan
(2) ditambah tujuan pembelajaran yang khusus dirumuskan
untuk karakter.
b. Pendekatan/metode pembelajaran diubah (disesuaikan) agar
pendekatan/metode yang dipilih selain memfasilitasi peserta didik mencapai
pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan, juga mengembangkan karakter.
c. Langkah-langkah pembelajaran juga direvisi.
Kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam setiap langkah/tahap pembelajaran
(pendahuluan, inti, dan penutup), direvisi atau ditambah agar sebagian atau
seluruh kegiatan pembelajaran pada setiap tahapan memfasilitasi peserta didik
memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan dan mengembangkan
karakter. Prinsip-prinsip pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual
Teaching and Learning), pembelajaran kooperatif (Cooperatif Learning), dan
pembelajaran aktif (misal: PAIKEM/Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif,
dan Menyenangkan) cukup efektif untuk
mengembangkan karakter peserta didik.
d. Bagian penilaian direvisi. Revisi dilakukan dengan cara
mengubah dan/atau menambah teknik-teknik penilaian yang telah dirumuskan.
Teknik-teknik penilaian dipilih sehingga secara keseluruhan teknik-teknik
tersebut mengukur pencapaian peserta didik dalam kompetensi dan karakter. Di
antara teknik-teknik penilaian yang dapat dipakai untuk mengetahui perkembangan
karakter adalah observasi, Penilaian kinerja, penilaian antar teman, dan
penilaian diri sendiri.
Nilai karakter sebaiknya tidak dinyatakan secara
kuantitatif, tetapi secara kualitatif, misalnya:
1) BT: Belum Terlihat,apabila peserta didik belum
memperlihatkan tanda-tanda awal perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator.
2) MT: Mulai Terlihat, apabila peserta didik sudah mulai
memperlihatkan adanya tanda-tanda awal perilaku/karakter yang dinyatakan dalam
indikator tetapi belum konsisten.
3) MB: Mulai Berkembang,apabila peserta didik sudah
memperlihatkan berbagai tanda perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator
dan mulai konsisten.
4) MK: Menjadi Kebiasaan atau membudaya, apabila peserta
didik terus menerus memperlihatkan perilaku/karakter yang dinyatakan dalam
indikator secara konsisten (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
e. Bahan ajar disiapkan. Bahan ajar yang biasanya diambil
dari buku ajar (buku teks) perlu disiapkan dengan merevisi atau menambah
nilai-nilai karakter ke dalam pembahasan materi yang ada di dalamnya. Buku-buku
yang ada selama ini meskipun telah memenuhi sejumlah kriteria kelayakan buku
ajar, yaitu kelayakan isi, penyajian, bahasa, dan grafika, akan tetapi
materinya masih belum secara memadai mengintegrasikan pendidikan karakter di
dalamnya. Apabila guru sekedar mengikuti atau melaksanakan pembelajaran dengan
berpatokan pada kegiatan-kegiatan pembelajaran pada buku-buku tersebut,
pendidikan karakter secara memadai belum berjalan.
Oleh karena
itu, sejalan dengan apa yang telah dirancang pada silabus dan RPP yang
berwawasan pendidikan karakter, bahan ajar perlu diadaptasi. Adaptasi yang
paling mungkin dilaksanakan oleh guru adalah dengan cara menambahkegiatan
pembelajaran yang sekaligus dapat mengembangkan karakter. Cara lainnya adalah
dengan mengadaptasi atau mengubah kegiatan belajar pada buku ajar yang dipakai.
Selain itu, adaptasi dapat dilakukan dengan merevisi substansi pembelajarannya.
2. Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan
pembelajaran dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup dipilih dan
dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang
ditargetkan. Sebagaimana disebutkan di depan, prinsip-prinsip Contextual
Teaching and Learning disarankan diaplikasikan pada semua tahapan pembelajaran
karena prinsip-prinsip pembelajaran tersebut sekaligus dapat memfasilitasi
terinternalisasinya nilai-nilai karakter pada peserta didik.
Selain itu, perilaku guru sepanjang proses pembelajaran harus merupakan model
pelaksanaan nilai-nilai bagi peserta didik. Dalam pembelajaran ini guru harus
merancang langkah-langkah pembelajaran yang memfasilitasi peserta didik aktif
dalam proses mulai dari pendahuluan, inti, hingga penutup. Guru dituntut untuk
menguasai berbagai metode, model, atau strategi pembelajaran aktif sehingga langkah-langkah
pembelajaran dengan mudah disusun dan dapat dipraktikkan dengan baik dan benar.
Dengan proses seperti ini guru juga bisa melakukan pengamatan sekaligus
melakukan evaluasi (penilaian) terhadap proses yang terjadi, terutama terhadap
karakter peserta didiknya.
3. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi atau penilaian merupakan bagian yang sangat penting
dalam proses pendidikan. Dalam pendidikan karakter, penilaian harus dilakukan
dengan baik dan benar. Penilaian tidak hanya menyangkut pencapaian kognitif
peserta didik, tetapi juga pencapaian afektif dan psikomorotiknya. Penilaian
karakter lebih mementingkan pencapaian afektif dan psikomotorik peserta didik
dibandingkan pencapaian kognitifnya. Agar hasil penilian yang dilakukan guru
bisa benar dan objektif, guru harus memahami prinsip-prinsip penilaian yang
benar sesuai dengan standar penilaian yang sudah ditetapkan oleh para ahli
penilaian.
Pemerintah (Kemdiknas/Kemdikbud) sudah menetapkan Standar
Penilaian Pendidikan yang dapat dipedomani oleh guru dalam melakukan penilaian
di sekolah, yakni Permendiknas RI Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian
Pendidikan. Dalam standar ini banyak teknik dan bentuk penilaian yang
ditawarkan untuk melakukan penilaian, termauk dalam penilaian karakter. Dalam
penilaian karakter, guru hendaknya membuat instrumen penilaian yang dilengkapi
dengan rubrik penilaian untuk menghindari penilaian yang subjektif, baik dalam
bentuk instrumen penilaian pengamatan (lembar pengamatan) maupun instrumen
penilaian skala sikap (misalnya skala Likert).
SIMPULAN
Jika
pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah sebagai bagian dari reformasi
pendidikan, maka reformasi pendidikan karakter bisa diibaratkan sebagai pohon
yang memiliki empat bagian penting, yaitu akar, batang, cabang, dan daun. Akar
reformasi adalah landasan filosofis (pijakan) pelaksanaan pendidikan karakter
harus jelas dan dipahami oleh masyarakat penyelenggara dan
pelaku pendidikan. Batang reformasi berupa mandat dari pemerintah selaku
penanggung jawab penyelenggara pendidikan nasional. Dalam hal ini standar dan
tujuan dilaksanakannya pendidikan karakter harus jelas, transparan, dan
akuntabel. Cabang reformasi berupa manajemen pengelolaan pendidikan karakter,
pemberdayaan guru, dan pengelola pendidikan harus ditingkatkan.
Sedang daun
reformasi adalah adanya keterlibatan orang tua peserta didik dan masyarakat
dalam pelaksanaan pendidikan karakter yang didukung pula dengan budaya dan
kebiasaan hidup masyarakat yang kondusif yang sekaligus menjadi teladan bagi
peserta didik dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari.
Keempat
pilar reformasi pendidikan karakter di atas saling terkait dan jika salah
satunya tidak maksimal akan dapat mengganggu pelaksanaan pendidikan karakter di
sekolah dan institusi pendidikan lainnya. Karena itulah, pelaksanaan pendidikan
karakter harus dipersiapkan dengan baik dan melibatkan semua pihak yang terkait
dengan pelaksanaannya serta harus dilakukan evaluasi yang berkesinambungan.
Lingkungan sosial dan budaya bangsa Indonesia adalah Pancasila, sehingga
pendidikan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dan yang
tidak kalah pentingnya, sebagai bangsa yang beragama, pengembangan karakter
bangsa tidak bisa dilepaskan dari ajaran agamanya.
Karena
itulah, pendidikan karakter yang religius (religious based character) harus
didasarkan pada nilai-nilai karakter yang terkandung dalam keseluruhan ajaran
agama yang dianut peserta didik. Pengembangan karakter di sekolah menjadi
sangat penting mengingat di sinilah peserta didik mulai berkenalan dengan
berbagai bidang kajian keilmuan. Pada masa ini pula peserta didik mulai sadar
akan jati dirinya sebagai manusia yang mulai beranjak dewasa dengan berbagai
problem yang menyertainya. Dengan berbekal nilai-nilai karakter mulia yang
diperoleh melalui proses pembelajaran di kelas dan di luar kelas, peserta didik
diharapkan menjadi manusia yang berkarakter sekaligus memiliki ilmu pengetahuan
yang siap dikembangkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin. 1995. Etika (Ilmu Akhlak). Terj. oleh Farid
Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang. Cet. VIII. Dit PSMP Kemdiknas. 2010. Pendidikan
Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta:
Direktorat PSMP Kemdiknas.
Doni Koesoema A. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I.
Echols, M. John & Shadily, H. 1995. Kamus Inggris
Indonesia: An English-Indonesian Dictionary. Jakarta: PT Gramedia. Cet. XXI.
Frye, Mike at all. (Ed.) 2002. Character Education: Informational
Handbook and Guide for Support and Implementation of the Student Citizent Act
of 2001.
North Carolina: Public Schools of North Carolina. Kemdiknas.
2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our
School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney,
Aucland: Bantam books.
Mulyasa, H.E. 2011. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta:
Bumi Aksara. Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Kebijakan Nasional
Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang
Kemdiknas. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2006 tentang Standar Proses untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Cet. I. Pusat
Kurikulum Kemdiknas. 2009. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Kemdiknas.
Ryan, Kevin & Bohlin, K. E. 1999. Building Character in
Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco:
Jossey Bass. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Zainuddin. 2008. Reformasi Pendidikan: Kritik
Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.